Makna Belajar di SMP INS – To Know Who I Am, and What I Want
Cari tahu siapa dirimu, dan kemana kamu akan menuju dan berkiprah kelak
“Jangan minta buah mangga dari pohon rambutan. Jadikanlah semua pohon berbuah manis.” Engkoe Mohammad Sjafei, pendiri sekolah nasional INS Kayutanam, 1926, Sumatera Barat.
Ini alasan mengapa siswa perlu tahu siapa dirinya, apa maunya, dan kemana esok melangkah …
Hampir selalu kita temui, di lingkungan keluarga sendiri, seperti orangtua atau kakak, yang berpendidikan di suatu bidang keilmuan tetapi akhirnya berprofesi menekuni bidang lain yang berbeda, atau sama sekali berlainan arah.
Keahlian kesarjanaannya hampir sama sekali tak tergunakan. Yang terpakai hanya kemampuan personal, seperti karakter kepribadian yang kreatif, daya adaptasi, daya fikir, serta kreativitas.
Ini sesuatu yang sangat ironis.
Betapa sumberdaya manusia Indonesia tak terbentuk dengan optimal, dan begitu banyak energi seseorang terbuang lantaran berputar-putar hingga menemukan versi terbaik dirinya.
Dalam banyak kasus, setelah lulus SMA, seorang anak bingung mau melanjutkan ke bidang apa.
Ketika orangtua bertanya, “mau melanjutkan kemana?”
biasanya sang anak menjawab, “apa ya.., terserah pilihan ayahbunda saja“, atau “lihat dulu teman-temanku pada ke mana“, atau “ada . ... beberapa, tapi masih pikir-pikir“.
Sebagian siswa yang terjaring program minat bakat dan masuk ke perguruan tinggi ternama, bahkan merasa salah jurusan, karena waktu itu terpikat saran guru pembimbing dan mempertimbangkan kemudahan diterima.
MODEL PENDIDIKAN NATURAL DI JENJANG SMP
Sedikit menoleh ke belakang, saat konsep sekolah SMP the Indonesia Natural School disusun oleh Yayasan Semut Beriring, pada tahun 2008-2009.
Ketika itu, Bunda Arfi Destianti merasakan, betapa kritik pendidikan yang sering dilontarkan beberapa tokoh pendidik nasional seperti (alm) Prof. Mochtar Buchori, dan (alm) Prof. H.A.R Tilaar, terasa begitu mengena dalam pendidikan nasional kita.
Ikhtisar dari pemikiran kedua tokoh ini antara lain:
- terjadi kastanisasi pendidikan
- komersialisasi dan favoritisme sekolah
- pembedaan perlakuan terhadap siswa yang pintar dan tidak pintar
- penjurusan / pencitraan IPA vs IPS
- pendidikan yang nir -integritas, nir-karakter, nir-egaliter, nir-toleransi, nir-keberagaman /multikultural
- kurangnya pendekatan humaniora dalam pendidikan
- berorientasi pada nilai akhir, UN, ijazah; kurang memperhatikan proses pembelajaran
- dongkrak nilai raport dan nilai UN
- kurang memperhatikan pengembangan diri dan kompetensi siswa
- lemahnya pengawasan pendidikan oleh Pengawas / Dinas Pendidikan
- korupsi pendidikan
- lulusan perguruan tinggi tidak mahir bicara dan presentasi
- sarjana nasional kalah tampil dengan sarjana asing
- serbuan sekolah-sekolah (elit) internasional dari berbagai negara
- pendidikan yang menyeragamkan siswa
- sekolah yang nir-budaya, nir-seni, nir-nasionalisme, nir-kegembiraan, nir-karakter
- bullying (tekanan, perundungan) oleh sesama siswa dan (kadang) guru
- a-komunikasi, nir-pelayanan
dan masih banyak yang bisa ditambahkan lagi …
Pendirian SMP the Indonesia Natural School di kota Depok, juga mempertimbangkan permintaan orangtua siswa akan kelanjutan dari program pendidikan di SD Semut-Semut the Natural School.
Di mana di jenjang sekolah dasar, siswa dibentuk untuk menjadi anak yang mandiri, bertanggungjawab, menyukai belajar, dan memiliki dasar budi pekerti yang baik. Selanjutnya di SMP di usia remaja mereka akan dibekali dengan pengenalan diri, pengembangan diri dan kompetensi
Lantas, di SMP seharusnya kepribadian siswa dimaksud dapat diasah lebih tajam lagi. Ketika lulus SMP, misalnya, mereka telah tahu apa saja potensi bakat dan minatnya, berani tampil, mampu berbicara mengekspresikan diri, kreatif, berdaya adaptasi tinggi, serta memiliki karakter yang bagus.
Potensinya telah diketahui untuk diasah lebih jauh menjadi kompetensi yang unggul ketika melanjutkan ke jenjang SMA hingga seterusnya di pendidikan tinggi.
Persoalan identifikasi minat bakat itu makin tampak setelah siswa melalui beberapa program “My Dream” atau “My Dream Board”, dan para siswa membuat visual time-line atau road-map garis cita-cita. Maka, siswa makin memiliki tujuan kenapa ingin bersekolah, berani mengungkapkan keinginan/cita-citanya, dan juga ingin menguji siapa dirinya dengan seperangkat minat bakat yang dimilikinya.
Dan soal Dream/Cita-cita ini sebaiknya memang sudah dipertajam oleh lembaga sekolah sejak jenjang SMP. Sebab, jika baru dimulai saat SMA, sudah terlambat dan banyak kesempatan yang telah terbuang
Tantangan bagi penyelenggara sekolah, seperti SMP INS, bahwa sekolah yang ingin mengakomodasi minat bakat siswa, tentulah harus berupaya untuk menyediakan beragam program di berbagai bidang, atau memiliki link/network dengan berbagai komunitas tertentu. Dan tentunya keberadaan psikolog sekolah amat sangat membantu dalam memetakan potensi minat bakat siswa.
Begitulah singkatnya, SMP INS mengambil kredo atau motto: SMP INS – to Know Who I Am, dan What I Want, sebagai salah satu dasar bagi pembelajaran dan pengembangan kurikulum. Yang kemudian kami menyebutnya: Learning Style Analysis & Interest Curiosity Based Learning.
PEMIKIRAN KRITIS PENDIDIKAN INDONESIA
Dengan paradigma to Know Who I Am, dan What I Want itu, sekaligus sekolah SMP INS juga ingin merespon berbagai kritik terhadap praktek pendidikan nasional, sekaligus memberikan alternatif model pendidikan natural yang sesuai bagi kebutuhan perkembangan kepribadian anak di usia remaja yang penuh dengan pencarian jati diri.
TAMAN SISWA dan AJARAN KI HAJAR DEWANTARA
Yuk kita mencermati apa yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, yang mendirikan pendidikan Taman Siswa, sejak dari TK (Taman Indria), SD/SMP/SMA (Taman Siswa) hingga pendidikan tinggi (Taman Wiyata), dimulai pada tahun 3 Juli 1922 di Tanah Jawa, tepatnya di Jogjakarta.
Ki Hajar Dewantara, dalam konsep pendidikannya, sangat menghargai individual kepribadian anak, dengan menciptakan sekolah sebagai layaknya taman belajar yang indah dan menyenangkan, bebas dari tekanan, ramah, memerdekakan anak, melayani, penuh kasih sayang, dan mengayomi.
Beliau menyusun gagasannya, antara lain setelah mempelajari model pendidikan progresif yang dikembangkan oleh Maria Montessori (Italia) dan terutama oleh Rabindranath Tagore (India).
Seorang guru di Taman Siswa, harus menjalankan pedoman Patrap Triloka: “Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan); Ing madya mangun karsa (di tengah membangun karsa/kemauan/semangat); Tut wuri handayani (dari belakang mendukung).”
Kongres Taman Siswa di tahun 1946 yang merumuskan Panca Dharma Taman Siswa, yaitu asas kemerdekaan, asas kodrat alam, asas kebangsaan, asas kebudayaan, dan asas kemanusiaan.
Sekolah Taman Siswa mengutamakan pengembangan jati diri kebangsaan Indonesia, dengan menghargai dan menyelenggarakan berbagai kegiatan seni-budaya di sekolah. Sebuah sekolah dengan pendekatan multi-kecerdasan dan multi-kultural.
INS KAYUTANAM – dan AJARAN ENGKOE MOHAMMAD SJAFEI
Juga perhatikan petikan petuah dari tokoh pejuang pendidikan nasional, Engkoe Mohammad Sjafei, pendiri sekolah INS Kayutanam pada 1 Oktober 1926, dari sebuah desa kecil di Kab. Padang Pariaman, Sumatera Barat:
“Engkau jadilah engkau, sekolah berfungsi mengasah akal budi murid, bukan membentuk manusia lain dari dirinya sendiri.”
“Jangan minta buah mangga dari pohon rambutan, tetapi jadikanlah semua pohon berbuah manis”. Begitu petuah Engkoe Sjafei.
Singkatan INS adalah Indonesisch-Nederlandsche School.
(Lihat di Tirto.id: INS Kayu Tanam, Sebuah Sekolah Alternatif yang Melawan Kurikulum Belanda) .
Banyak tokoh besar nasional telah lahir dari lembaga INS Kayutanam ini yang ketika didirikan hingga sekarang berupa madrasah aliyah atau pendidikan sejenjang SMA.
Model pendidikan yang diajarkan oleh Engkoe Moh. Syafei yang juga tokoh pergerakan — ingat lho kala itu kita masih dalam era penjajahan kolonial Belanda — adalah pendidikan yang berorientasi pada mimpi atau kehendak dan keinginan siswa-siswanya, dan berorientasi pada bakat dari masing-masing siswanya.
Apabila siswa dapat dikembangkan berdasarkan talenta atau bakatnya, maka lulusannya akan menjadi sumberdaya yang mandiri, yang dapat menciptakan lapangan kerja sendiri, berjiwa entrepreneurship, dan berahlak mulia.
Di INS Kayutanam memang disediakan banyak kegiatan untuk ketrampilan, seperti pertanian, peternakan, perbengkelan, pengolahan kayu, keramik, dsb. (sumber: Executive Summary, INS Kayutanam, oleh Perguruan Nasional Ruang Pendidik INS Kayutanam, 2006)
Jauh dahulu kala, kini lebih 90 tahun sejak tahun 1926 dahulu, tokoh Engkoe Mohammad Sjafei, yang lulusan sekolah guru Kweekschool, telah berpandangan dengan visi yang begitu manusiawi, natural, menghargai keunikan setiap orang yang berbeda satu sama lain bakat minat dan potensinya, tetapi semua siswa harus menjadi sesuatu kompetensi.
Inilah inti dari paradigma kecerdasan majemuk serupa dengan teori multiple intelligences yang belakangan dirumuskan oleh Howard Gardner, tokoh pendidik dan psikolog berkebangsaan Amerika dan kini banyak dijadikan model pendidikan di Indonesia.
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind: Teori Multiple Intelegences tahun 1983 mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan suatu masalah dan menciptakan suatu (produk) yang bernilai dalam suatu budaya.
Pada mulanya Howard Gardner menyatakan ada tujuh jenis kecerdasan, yang kemudian dilengkapi menjadi 8 kecerdasan (tahun 1990). Yaitu: kecerdasan bahasa, logika matematika, intrapersonal, interpersonal, musik, visual-spasial, kinestetik, dan kecerdasan alam (iah) atau kecerdasan naturalis.
Di era Gardner, saat orangtua kita bersekolah, pendidikan memang kebanyakan membidik 2 jenis kecerdasan saja, yaitu lingustik (bahasa) dan matematika (logik) saja, dan abai terhadap beragam kecerdasan dalam spektrum kecerdasan yang dimiliki manusia. Ini mungkin sebabnya, para orangtua kita belum/tidak mengembangkan potensi diri, akibat penyeragaman program di sekolah-sekolah mereka dahulu, sehingga akhirnya setelah tamat bekerja di luar bidang pendidikan.
Pendidikan Natural di SMP INS Depok : Mendorong Siswa Mengenali Dirinya, dan Menjadi Dirinya yang Terbaik
Belajar dari berbagai mata air pendidikan Indonesia di atas, SMP the Indonesia Natural School yang kita cintai ini, menyadari pentingnya strategi perkembangan (kepribadian) anak, ketimbang melulu kepentingan pencapaian kecerdasan kognitif atau nilai-nilai akademik.
Terutama pemikiran Engkoe Sjafei, sangat membekas di hati. Agar setiap anak, mesti menjadi dirinya yang terbaik, seumpama buah mangga, jadilah buah mangga yang harum dan manis legit. Seumpama buah rambutan, jadilah buah rambutan yang manis, nglotok, dan berdaging tebal.
Jangan biarkan buah mangga berasa kecut, ataupun juga buah rambutan serasa pahit masam. Apalagi memaksa buah mangga serasa rambutan, ataupun rambutan harus seenak mangga.
Siswa harus menjadi versi yang terbaik dari dirinya sendiri. Tidak boleh ada penyeragaman, karena setiap individu adalah unik, memiliki kelebihan dan keterbatasannya masing-masing.
Kurikulum Nasional yang sudah dirancang oleh Depdiknas, dapat dikembangkan atau diperkaya dengan beragam kreasi pembelajaran, yang lebih menekankan pada multi kecerdasan, melalui berbagai kegiatan pembelajaran yang terpadu, dengan mengedepankan aspek kebutuhan siswa, kegembiraan/antusiasme belajar, semangat kebangsaan, pencapaian personal siswa dalam berbagai bidang yang diminatinya.
Sebagian itu tersebut dalam program kurikuler, program talenta, program ekstrakurikuler, serta budaya perilaku yang baik. Dan semua terwadahi dalam satu semangat pencapaian perkembangan kepribadian siswa. Siswa diharapkan dapat mengembangkan minat dan potensinya, sebagaimana yang dituliskannya dalam roadmap Dream masing-masing.
Sehingga siswa mengenali diri dan panggilan hidupnya: to Know Who I Am, dan What I Want.
Berikut foto kenang-kenangan saat tim guru SD Semut-Semut bersama Bunda Arfi Destianti berkunjung dalam ziarah pendidikan, ke INS Kayutanam, di Padang Pariaman, Sum-Bar, tahun 2018, dan berziarah ke makam (alm) bapak pendidikan nasional Engkoe Mohammad Sjafei (1893 -1969)
/IM