HIKING SERU. INI MANFATNYA BAGI TEMAN-TEMAN BERKEBUTUHAN KHUSUS
Berjalan di alam bebas, atau hiking, sangat bermanfaat bagi siswa terutama siswa berkebutuhan khusus (ABK) di program inklusi SD Semut-Semut. Hiking merupakan terapi yang efektif dan banyak manfaatnya. Yuk kita ikuti perjalanan mereka.
Horee… jumpa lagi dalam kegiatan hiking bagi siswa berkebutuhan khusus (ABK) di SD Semut-Semut the Natural School.
Belum lama ini, pada 5 Februari 2020 lalu, unit LSD (Learning Support Departement) yang menggawangi program inklusi, melakukan kegiatan outdoor berupa hiking atau berjalan di alam bebas.
Kali ini lokasi yang dipilih di area Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur, diikuti 31 anak dari berbagai kelas, didampingi oleh 16 guru. Kegiatan hiking ini rutin dilakukan setiap semester satu kali, dengan lokasi berbeda-beda. Ini kegiatan di semester kedua tahun ajaran. Ini kegiatan perdana di semester kedua thn ajaran 2019/20.
Semester lalu, mereka hiking ke lokasi yang lebih jauh dan lebih asyik, yaitu di Kebun Raya Cibodas. Ketika itu teman-teman inklusif SD bergabung dengan kakak inkusif SMP. Sehingga jadi rombongan agak besar nih, pesertanya 53 anak (diantaranya 35 siswa SD) tambah 16 guru SD dan 3 guru pendamping di SMP, berikut Bunda Arfi Destianti juga ikut serta. (Nanti ada cerita ke Cibodas, terpisah ya…)
JALAN BEBAS di BUPERTA CIBUBUR
Cukup sekitar 30 menit berkendara dari sekolah ke Buperta Cibubur. Dengan jarak yang tak terlalu jauh, siswa dapat pulang pergi dalam jam belajar, tidak memerlukan menginap. Ini salah satu faktor yang memudahkan mobilitas kegiatan.
Area perkemahan ini sangat luas, dan bila berjalan mengelilinginya cukup asyik dan melelahkan lho …
Area hiking sebelumnya telah dipersiapkan oleh kakak guru, dan dipilih dengan tingkat kemudahan yang sesuai dengan tujuan terapi. Sudah ada tim survey sebelumnya dan melihat dan mengukur jarak.
ANEKA KEGIATAN
Setelah istirahat sejenak, kegiatan dibuka dengan pemanasan berupa senam selama 30 menit. Maksudnya supaya dalam berjalan nanti saat naik tanjakan dan turunan di area hiking, otot-otot siswa sudah lemas dan tak kaget/kejang otot atau spasme.
Setelah itu, dari titik tempat senam mulai berjalan dan akan finish di tempat yang sama. Wah… rute yang ditempuh lumayan panjang ….sekitar 3,5 km dengan estimasi waktu 1,5 jam. Menyusuri trekking rata, ada turunan dan juga tanjakan yang tak terlalu curam, serta jalan bergelombang. Beragam kondisi jalan itu dilalui dengan ceria.
Tak cuma menghabiskan trek jalan kaki. Sesampainya di basecamp, disambung dengan beberapa permainan seru. “Ini untuk latihan sensori motorik,” jelas Bu Ozi, panggilan akrab Fauziah Hanim Siregar, ahli terapis okupasi.
Tantangan pertama, memasukkan bola ke dalam kardus yang berlubang. Manfaatnya, memberi latihan untuk koordinasi mata dan tangan. Siswa diasah berkonsentrasi agar bola kertas di atas baki tidak jeblos ke dalam kardus.
Lucunya, siswa malahan berteriak senang kalau bola malahan masuk ke lubang. Rupanya mereka senang bila gagal, sebab akan mengulang lagi. Wah, semuanya harus mengulang, dan antri lagi.
Tantangan kedua, lompat satu kali ke dalam lingkaran hola hop. Ada 3 hola hop yang dipergunakan. “Ini untuk latihan keseimbangan ketika melompat,” jelas Bu Ozi.
Kegiatan bermain ini menghabiskan waktu 1 jam. Perjalanannya cukup mulus. Respon siswa dalam kegiatan ini sudah adaptif, artinya memberikan respon yang tepat saat berjalan. Hal ini dicapai bukan lantaran suasana perjalanan atau cuaca yang panas sejuk, tapi karena sebelumnya siswa dibekali dengan latihan, penjelasan, dan penguatan.
Sekitar pk.12.00 selesailah seluruh acara, dan tim LSD berikut siswa kembali ke sekolah.
MANFAAT HIKING
Alam terbuka diyakini memberikan perspektif dan energi positif bagi kita. Terutama bagi siswa inklusif, hiking memberi manfaat sebagai salah satu aktifitas sensori motorik.
Kegiatan Sensori Motorik artinya kegiatan yang melatih persyarafan yang terkait alat gerak.
Selain meningkatkan kemampuan sensori motorik siswa, hiking ini melatih siswa beradaptasi dengan lingkungan baru. Ini terutama bermanfaat bagi siswa dengan hambatan autisme. Mereka senang berjalan-jalan, dan dengan begitu juga berlatih kesabaran selama menempuh perjalanan, termasuk sabar mengantri penggunaan toilet.
Kondisi siswa menghadapi kegiatan hiking ini, memberikan respon adaptasi yang baik.
Siswa dengan ADHD (Attention Defisit Hyperactive Disorder) bisa fokus pada jalan lurus, tak terganggu atau terpengaruh/bereaksi terhadap lingkungan di sekitar perjalanan – seperti rumah atau pepohonan.
Siswa dengan Autisme, yang senang berjalan, mereka dengan cepat gampang mengekspresikan emosi kalau kelelahan. Bagusnya, memberikan respon yang baik saat beristirahat dalam perjalanan, yaitu mencari tempak duduk yang nyaman, mengambil minuman, setelah istirahat sekitar 5 menit siap melanjutkan perjalanan. Siswa yang terkadang mengamuk, kali ini malahan have fun banget mengikuti arahan dengan baik tanpa ekspresi marah.
Untuk perjalanan yang efektif, siswa dibagi dalam 5 kelompok, dengan masing-masing 6 -7 anak, didampingi oleh 2-3 guru.
Siswa umumnya memahami instruksi dari guru (akhirnya tidak diberi tantangan membaca peta). “Teman-teman, nanti kita akan berjalan menyusuri jalan di Buperta sekitar 3,5 km. Teman-teman boleh mengikuti bapak/ibu guru yang ditunjuk,” begitu aba-aba yang diberikan.
Siswa dikatakan tidak adaptif, jika tindakannya tidak sesuai instruksi. Namun, kegiatan kali ini seluruh siswa memperlihatkan respon yang adaptif atau sesuai dengan arahan, maka boleh dibilang kegiatan ini berlangsung baik dan sesuai target.
Hiking, yang melatih sensori motirik, dalam pedagogik inklusif disebut terapi level 1. Jenis kegiatan ini harus berhasil bagi siswa, karena ini merupakan fondasi baginya untuk berbagai kegiatan atau terapi berikutnya.
MENGENAL TAHAPAN TERAPI SENSORI MOTORIK pada PIRAMIDA BELAJAR BAGI SISWA INKLUSIF
Terapi Level 1, Sistem Sensori:
PROPRIOSEPTIVE yaitu, aktifitas yang dilakukan dengan semua gerakan sendi atau motorik kasar. Contohnya, hiking, yang mengoptimalkan latihan sensori motorik.
VESTIBULAR yaitu, aktifitasnya yang berkenaan dengan keseimbangan –kiri kanan, bawah-atas, depan-belakang. Contoh, siswa meniti di jalan lurus atau balok keseimbangan.
TAKTIL, di sini berkenaan dengan kemampuan perabaan. Terapi dilakukan untuk mempertajam kemampuan panca indera. Misal, melatih anak agar nyaman duduk di rumput, nyaman memegang pasir dan tanah, dan nyaman berbasah-basahan.
VISUAL, di sini siswa dilatih untuk dapat merespon gelap, terang, warna, dan semua yang dapat dilihat saat kegiatan hiking berlangsung.
AUDITORY, melatih mendengar beragam suara saat yang ada di wilayah jambore, contoh: suara jangkrik, suara burung dan lain-lain. Bertujuan agar siswa dapat membedakan apa yang didengar.
OLFACTORY, yaitu kemampuan membau, harapannya siswa dapat merespon dengan tepat bila mencium bau-bau pohon sepanjang perjalanan dan berkegiatan.
GUSTATORY, yaitu kemampuan mengecap/merasakan makanan yang dimakan bersama saat kegiatan.
Nah, dengan hiking sebagai latihan sensori motirik atau level 1, juga berbagai kegiatan sensori motirik lainnya di sekolah, maka siswa dapat menempuh berbagai terapi di level berikutnya tanpa hambatan.
Dalam pengamatan di sekolah, bila siswa kurang berhasil dalam terapi sensori motorik ini, maka pada kelanjutannya akan mengalami hambatan. Pada pencermatan dari kelas 1 s/d 6, termasuk kelas PBI (Program Bintang Indonesia, di mana siswa lebih banyak di unit LSD), ditemukan banyak masalah yang bersumber dari tidak optimalnya penanganan di level 1 ini. Dahulu terapi sensori motorik memang sudah dijalani, tapi stimulasinya masih dianggap kurang, dan coba dioptimalkan. Dahulu sampai kelas 3 atau usia 8 tahun, dan kini akan lebih baik diperpanjang hingga kelas 6.
EVALUASI KEGIATAN HIKING
“Ketika siswa menjalani kegiatan sensori motorik dari berjalan dan bermain games, kami melihat respon yang semakin tepat. Diharapkan perilaku adaptif muncul di kegiatan berikutnya di sekolah, termasuk aktifitas belajar di kelas,” jelas bu Ozi.
Anak2 senang banget, bahkan ada yang berusaha menangkap hewan – seperti anak kadal, capung, dan bermain di sekitar gazebo danau. Ini diberikan kesempatan agar siswa dapat juga mengekplore alam yang menarik perhatian mereka. Siswa kelihatan pemberani tidak ada rasa takutnya.
“Bu, aku kan sudah pernah ke Cibubur, kenapa harus ke situ lagi, kan kita maunya ke Ragunan,” begitu awalnya Adam berargumentasi. Namun di kegiatan, Adam kelihatan gembira. Adam, siswa kelas 6 yang penyuka satwa, sibuk mencari dan menangkap anak kadal, dan keseruannya diikuti oleh adik-adik dengan ADHD lainnya. “Iya sih, tapi aku senang, karena aku ambil kadal, bisa nyari binatang kecil,” kata Adam dengan muka gembira, antusias bersemangat.
Rafandra, kelas 4, ADHD: “Kita hiking lagi kapan,” tanyanya. Lho, “Kita belum pulang kamu sudah tanya kapan pergi hiking lagi… ,” kata bu guru tertawa.
Nabiel, kelas 3, ADHD: “Cape bu…,”. Bu guru memberi dukungan, “Semangat ya Nabiel.” Nabiel berhasil jalan dan terlihat gembira banget. Begitu pun dengan orangtua Nabiel, yang melihat tayangan Nabiel sedang berjalan.
Akbar, kelas 1, Autisme. Akbar memberikan respon yang tepat, meski baru pertama kali berkegiatan. (Ia tidak diikutkan dalam kemping besar sekolah nanti, karena mempertimbangkan beberapa hal, mengkhawatirkan tidur, luasan area, jauh dari rumah, jauh dari orangtua, dsb.)
Mia, yang kadang suka panik dengan perubahan cuaca (mendung, hujan) dan kondisi toilet yang tidak nyaman, kali ini pun berhasil beradaptasi dengan tempat baru yang bukan biasa dihadapinya.
“Alhamdulillah respon mereka adaptif, dan kegiatan berlangsung seru banget deh …,” demikian bu Ozi menyimpulkan.
Sampai jumpa di kegiatan inklusif berikutnya. Salam dari unit Learning Support Departement, yang menangani program inklusif di SD Semut-Semut the Natural School – Depok.
/IM