LIBUR SEKOLAH, SAAT ISTIMEWA BERSAMA AYAH BUNDA. Parenting – Kak Rio MC2
Kak Rio berbagi tips peran ayahbunda mengisi libur panjang anak
(dari PARENTING Semut-Semut The Natural School , bersama Anrio Marfizal (Kak Rio), 25 Mei 2019. Kak Rio seorang psikolog anak, juga psikolog klinis. Mendirikan Mental Coaching Character – MC2 , dan kini aktif mengenalkan gerakan # Responsimpel)
Banyak orangtua bingung mengisi waktu anak di libur panjang. Liburan semester genap ini, berlangsung amat panjang, sejak seminggu jelang Idul Fitri hingga pertengahan Juli 2019, lebih sebulan lamanya.
Beberapa orangtua sudah kepikiran, tentang kegiatan anak selama libur Lebaran, dan sesudahnya saat orangtua kembali masuk kerja dan anak masih libur. Apa saja ya?
Ada yang ingin mengenalkan anak pada permainan tradisi era masa kecilnya, seperti naik egrang, lompat karet, adu kelereng/gundu, petak umpet. Ada yang menyusun agenda bepergian ke berbagai tempat edukatif. Ada yang ingin menjauhkan anak dari gadget.
KOK LIBURAN BERSAMA ANAK MALAH BINGUNG
Ada lho orangtua yang merasa bingung terbebani kepikiran tentang mengisi liburan ini.
Padahal waktu libur atau berkumpul bersama anak, adalah sangat menyenangkan. Kok malah terbebani?
Mungkin, selama ini, sebagian orangtua mengalami kalau tugas pembinaan anak lebih banyak dilakukan guru dan sekolah. Sejak pagi hingga sore hari, waktu anak terkelola di sekolah. Pulang kerumah jelang sore, sudah lelah, dan aktif sebentar lalu istirahat. Peran orangtua menjadi terbagi atau terkurangi, terutama dirasakan oleh pasangan orangtua bekerja, yang baru waktu malam ketemu dengan anak.
Nah, kini liburan anak sepenuhnya di rumah. Wah, apa ide kegiatan untuknya? Nihil ide atau kegiatan, bisa berabe.
Terutama tentang kegiatan ananda sepanjang hari di rumah: bermain apa, dengan siapa, siapa yang mengawasi, makan minumnya, dan sebagainya…. Jangan sampai cuma nonton teve, main game, pegang gadget, terus kembali ke nonton teve, main game, main medsos lagi … terus begitu …
Ada orangtua yang merasa terbebani, membayangkan akan lebih sering bepergian dan makan di luar bersama, sehingga pengeluaran meningkat.
DI RUMAH, ANAK INGIN LEBIH DIPERHATIKAN
Terkadang ada perubahan perilaku anak saat di rumah. Di sekolah, dia bisa makan dengan cepat, sementara kalau di rumah, makannya berlama-lama.
Kesempatan bersama bunda berlama-lama, tentu hal yang dikangenin anak-anak. Apalagi terhadap bunda yang bekerja. Anak tidak mengerti cara mengkomunikasikan keinginannya, karena itu ia makan berlama-lama agar bisa sambil bermain dengan bundanya.
Ananda juga jadi lebih sering mengganggu adik, sehingga adik teriak atau menangis. Ini semata lantaran anak ingin menarik perhatian bunda.
KURANG KOMUNIKASI DAN REFERENSI AKTIFITAS
Di rumah, anak gen millenial sekarang lebih suka dengan komputer dan gadget. Dua alat ini dominan dipilih. Ini jelas mengkhawatirkan, kuatir ketagihan. Membuat anak jadi ‘bodoh’ karena menjadi miskin dengan literasi.
Padahal, setiap anak tidak ada yang bodoh.
Semua anak ingin menghormati dan membahagiakan orangtua.
Kendalanya, anak masih terbatas dalam cara mengungkapkan keinginan dan perasaannya. Referensinya kurang. Berbeda dengan para orangtua, yang telah dewasa, dengan pergaulan luas.
Cara anak makan berlama-lama, itu adalah ungkapan ingin dekat dengan bunda. Ia ingin agar bunda tak buru-buru pergi bekerja. Mengganggu adik agar mama marah. Manja dan merengek ketika meminta sesuatu, adalah ungkapan ingin dekat dengan ayahbunda.
Membuat sedikit masalah adalah ungkapan ingin diperhatikan dan diapresiasi. Di sekolah, anak berani berbuat masalah karena mendapat pujian’ pemberani ‘ oleh teman-temannya.
Anak belum bisa berkomunikasi, masih taraf try-error, tentang cara mengungkapkan perasaannya. Meski dibantu mbak asisten rumah tangga, tetap rasanya tidak setulus bunda. Itu yang dirasakan anak. Kehadiran bunda tak terganti.
Karena itu, dengan pikiran sehat dan jernih, kita melihat perilaku dan ungkapan anak sebagai pesan apa adanya, yang mereka inginkan.
DRAMATISASI MASALAH ANAK
Di sekolah, anak menjadi lebih cepat dan positif, karena mendapat perlakuan yang tepat oleh guru. Hal sebaliknya bisa terjadi di rumah. Anak seperti sulit diatur, dan merepotkan.
Menjadi orangtua memang belum ada sekolahnya. Kalau bersama dengan anak dirasa berat, jangan disalahkan sang anak. Tapi lihat kompetensi orangtua.
Beberapa masalah jadi berat, karena dramatisasi rasa. Sebelum masalah datang, sudah merasa masalah sudah datang.
Boleh jadi ‘otot-otot’ lengan mendidik yang lemah, kompetensi mengelola anak yang lemah.
(Kak Rio mengundang 2 orang volunteer bunda ke depan. Disediakan dua buah kursi sama ukuran bentuk. Berarti kedua kursi itu sama berat. Kursi diangkat dengan satu tangan. Setelah mencoba beberapa saat, keduanya diminta memberi penilaian. Panduannya : skala berat 1 s/d 10. Bunda pertama menilai 4 (di bawah sedang, artinya nggak berat), sedangkan bunda kedua menilai 10 – sangat berat.
Nah, kursi sama berat, tapi dirasakan berbeda. Kedua bunda memiliki penilaian tak sama atas dua objek serupa. Bunda yang merasa ringan, mungkin karena otot lengannya lebih kuat. Sedang buda yang merasa berat, karena otot lengannya lemah).
Ini persoalan ada di perbedaan otot tangan. Bukan kursi (objek, atau anak kita) yang berat, tetapi otot (kemampuan, kompetensi) kita yang lemah mengangkat (mengelola anak).
Boleh jadi, orangtua yang merasa berat mengurus anak, karena mendramatisasi perasaannya. Padahal, masalah anaknya serupa saja dengan anak lain, yang dirasa lebih ringan oleh orangtua lain.
Ayo maksimalkan energi Anda untuk menyederhanakan masalah. Kalau anak dirasa berat, jangan salahkan sang anak tapi lihat kompetensi ortunya.
Kalau anak bermasalah, jangan anaknya yang diterapi … jangan melulu salahkan objeknya. Orangtua yang perlu diterapi, perlu belajar.
SUDAH DITAKAR
Masalah besar atau kecil, sudah ditakar oleh Allah swt. Kita diberi titipan anak, tentu ujian-ujian dalam membesarkan anak sudah Allah hitung kita mampu.
Tiap kita orangtua dijajah oleh cara, kebiasaan, atau kultur di era lalu, yang dibapak bapak atau kakek kita. Itu yang kita terapkan pada anak kita sekarang.
Hei…, hanya orang bodoh yang mengharapkan hasil yang berbeda tapi tetap dengan menggunakan cara yang sama. Tidak mungkin.
Dahulu, orangtua bermain egrang, kelereng, kotor-kotoran, tidak apa. Sekarang, orangtua takut anak kotor, main bola takut jatuh dan korengan, main gadget takut anak bodoh.
Anak perlu bermain. Bersyukur jika di sekolah seperti di Semut-Semut, anak mendapat kesempatan untuk bermain sampai kotor, karena dianggap bermain di alam adalah hal yang alami bagi anak.
Sebagai orangtua, kalau gak mau terjajah oleh jaman, maka jangan mau diperlemah oleh jaman.
Ayahbunda mesti sigap untuk memberi apresiasi pada pencapai anak. Beri jempol dan tepukan hebat kereen, meski, “Ayah, tadi aku juara puisi… tapi oya peserta nya satu orang..” — sang ayah hanya menjawab..” O gitu…a.
Anak akan mendapat energi dari jawaban atau respon yang kuat. Berbahaya jika anak tidak ditanggapi atas apa yang dilakukannya, maka bila ada aktivitas atau prestasi lain, ia ogah cerita.
Ayo, orangtua, kita harus belajar lagi …
Berawal dari hidup bahagia, maka akan keluar kata-kata yang bahagia untuk anak. Keluarga yang harmonis akan dipenuhi dengan cinta. Sebaliknya keluarga yang belum harmonis, maka bepergian bersama atau di kebersamaan keluarga menjadi hal yang kurang disukai.
Kalau anak kita rasakan menjadi masalah, jangan-jangan kompetensi kita yang masih lemah. Anak bisa menjadi korban dari kelemahan kompetensi orangtua.
Kekuatan paling dasar adalah cinta. Mencintai pasangan istri/suami bukan karena alasan fisik, material, atau takdir, tapi karena alasan cinta yang tulus. Begitupun, menyayangi anak karena cinta.
Mendidik anak tidak susah. Menjadi susah lantaran sebagai orangtua kita punya banyak target pada anak.
Kalau targetnya biasa-biasa saja, sederhana, ya tidak puyeng, biasa-biasa saja.Ingin anak menjadi ahli surga, tentu orangtua tidak bisa santai. Yang lucu, ingin anak ahli jannah, eh.. orangtuanya santai, tidak berubah, tidak belajar.
Ibarat punya mobil Fortuner, tapi perawatannya ingin seperti mobil Xenia. (maaf nyebut merek). Kuatir terhadap pembiayaan dan pengurusan anak.
Allah Swt tak memberikan ujian tanpa disertakan kesanggupan. Ujian besar, tentu kesanggupannya besar juga. Tidak mungkin Tuhan kasih ujian gede pada orang yang kecil. Ditinggikan harkatnya, ditinggikan pula ujiannya.
Jadi, jika anak gagal tumbuh menjadi anak dengan kepribadian yang baik, cerdas berilmu, jangan salahkan takdir. Ini karena kita kurang kompeten.
REALITAS
Ayah bunda, hiduplah dengan kehidupan nyata, bukan di angan-angan. “Lebih baik telur di hari ini daripada ayam di hari esok”, begitu petuah bijak.
Harapan itu penting, tapi ketimbang besok nggak sampai (umur kita), lebih baik menikmati telor yang ada hari ini.
Mulai menikmati apa yang kita miliki.
Lebih masuk ke dalam — jangan bandingkan diri kita dengan orang/keluarga lain, tapi bandingkan dengan kita di hari kemarin.
Cintai anak kita saat ini, ketimbang mengharap-harap wujud sang anak besok akan seperti apa.
Anak yang hari ini terlihat ‘bandel, nakal, tukang berantem, serabutan, tak mau diatur’, belum tentu esok begitu. Contoh, Umar bin Khattab. Semasa kecil amat nakal, pemudanya sok jagoan tukang berkelahi, namun di akhir menjadi khalifah dan dimakamkan di sisi nabi Muhammad SAW.
Anak kita yang sekarang badung, belum tentu kelak terus badung, kecuali disebabkan oleh kelemahan kita sebagai orangtua yang pesimis dan mudah menyerah.
KEMBALI KE PROGRAM LIBURAN
Bolehkah anak bermain gadget? Boleh.
Dunia anak adalah dunia bermain. Gadget salah satu alatnya.
Bahkan, di gadget pun kini ada aplikasi olahraga, macam-macam.
Gadget bukan masalah. Yang menjadi masalah itu akibatnya, terganggulah waktu, kesehatan, skedul, dsb. Penyebabnya, karena kecanduan.
Bisakah kita membuat anak tidak kecanduan atau ketagihan gadget?
Bisa! Asal ada substitusi. Kini mau membatasi gadget, tapi belum menyiapkan substitusi penggantinya. Mau menyuruh anak bermain, tapi tidak ada teman di seputar rumah. Kalau begitu, orangtua lah yang bermain dan menemani bersama.
Substitusi juga gagal, kalau tidak ada alat/sarana permainan.
Membuat anak happy tidaklah susah. Kuncinya: Cinta. Perhatian.
Main semprotan selang air sambil cuci mobil dengan ayah, kegiatan yang sangat menyenangkan. Memotong rumput, membersihkan kandang bersama ayah. Tentu harus dicoba ‘bermain’ berbagai hal lain, bersama teman, ayahbunda, atau kakak adik.
Berbahagia bukan tentang tempat ke mana berlibur. Tetapi tentang dengan siapa, dan bagaimana atau melakukan apa.
Kadang di kala anak sedang senang bermain, selalu ada lontaran kalimat yang mengganggu. Jangan saat bermain, anak ditanyai tentang sudah buat PR sekolah belum?
Berikan framing (konsep, pendekatan) yang baru tentang berlibur.
Sesuatu masalah dilihat dari sudut pandang positif. Tidak melihat dari bingkai negatif, kekurangan. Anak yang selalu diberi sudut negatif, wajar kelak dewasa akan penuh kebencian.
Anak menjadi pintar karena kecukupan hormon oksitosin (oxytocin), yang dibuat secara alami oleh otak/tubuh ketika kita merasa bahagia.
Bermain menimbulkan kegembiraan – kebahagiaan. Oksitoksin muncul. Bermain sangat bermanfaat bagi perkembangan sel syaraf anak. Membahagiakan anak lebih penting daripada mem-bimbel-kan anak.