BENARKAH BANYAK BERMAIN MEMBUAT ANAK BODOH?
Tidak benar bermain membuat anak bodoh. Sebaliknya, bermain itu penting, dan manfaat bermain bagi anak justru menjadikan anak pintar.
PERSEPSI BERBEDA TENTANG BERMAIN
Sebagian kita para orangtua, menganggap bermain itu banyak menghabiskan waktu, sehingga anak kecapekan, waktu belajar berkurang, akhirnya nilai-nilai sekolah jeblok.
Ada pendapat orangtua, “Pak, anak saya terlalu santai belajar. Nanti bagaimana hasil UN-nya? Kalau UN jelek, gak keterima di sekolah terbaik.” Lebih jauh, ada yang kuatir anaknya suka bermain jadi lalai belajar. Sehingga, sengaja pindah melanjutkan kelas 6 di sekolah yang pro cerdas akademik.
Sekolah Semut-Semut the Natural School mengambil pendekatan bermain itu bermanfaat.
“Bermain itu penting. Sama pentingnya dengan belajar. Cara bermain harus bermakna. Manfaat bermain memberikan efek positif bagi perkembangan kecerdasan, kepribadian dan karakter anak. Usahakan menggunakan permainan tradisional dan berkelompok.”
Ini memang berbeda dengan pendapat orangtua di atas.
Kembali ke pertanyaan tadi: Benarkah banyak bermain malahan menjadikan anak bodoh? Jawabannya, tidak !
Mari kita diskusikan yuk…
PENDAPAT BAHWA BANYAK BERMAIN BIKIN BODOH SAJA
Pendapat ini didasari atas anggapan bahwa:
- Bermain bisa tidak kenal waktu. Menghabiskan waktu sehingga sedikit sekali jatah waktu untuk belajar. Bagaimana mau pintar kalau kurang baca buku pelajaran dan kurang berlatih tugas (PR) ?
- Dampak bermain menjadikan anak seperti liar, sukar diatur. Kalau dilarang bermain, malahan melawan. Kreatif tapi ‘ngeblangsak’ – berantakan.
- Anak jadi kurang fokus, atau fokus perhatiannya pendek. Belajar sebentar saja sudah bosan, ngantuk, dsb.
- Banyak anak jadi nggak bisa diam, gerak terus. Kalau tak ada yang dikerjakan malah jadi iseng, atau jahil mengganggu teman/adik.
- Menjadi tidak teratur, kurang disiplin, kumel jorok, sehingga baju dan badan kotor melulu. Tidak higenis.
- Banyak bermain menjadikan anak bersikap terlalu santai. Kuatir sikap santai ini membuat anak tidak tangguh, cengeng, gampangan, menjadi pribadi yang mudah menyerah jika menghadapi kesulitan.
- Cara anak untuk berkilah dari tugas yang diberikan. Mengalihkan perhatian orangtua dari kelemahan nilai-nilai jelek, misalnya.
- Tak mungkin berprestasi tinggi jika terlalu nyaman bermain. Karena, untuk sukses perlu kegigihan, telaten, dan kerja keras.
- (masih banyak lagi jika dikumpulkan ya … )
Kelihatannya, di sini ada paradigma yang berbeda tentang aspek kecerdasan.
Menilai siswa akan bodoh jika banyak bermain, berpandangan bahwa kecerdasan yang utama itu adalah ketrampilan calistung (baca tulis hitung) yaitu kecerdasan bahasa dan matematika, kecerdasan saintifik (sains, IPA –biologi fisika matematika), dan kelak menekuni kesarjanaan bidang sains, keteknikan, kedokteran, atau komputerisasi).
Sementara kecerdasan lain, seperti kecerdasan bidang humaniora – sosial, seni, budaya, musik, olahraga, peduli alam; kecerdasan emosional spiritual; juga ketrampilan bidang sosial (IPS) kurang perlu.
Pendapat ini masih diyakini mayoritas masyarakat. Memang nyatanya, ukuran sukses pada beberapa profesi terhormat seperti pelaku jasa kedokteran, keteknikan; mereka sejahtera serta terhormat/prestise di masyarakat. Buat apa menggeluti bidang pengabdian yang tidak mensejahterakan diri?
ANAK TAK JADI BODOH, MALAH MANFAAT BERMAIN BAGI ANAK MENJADIKAN ANAK CERDAS LHO …
Pendapat yang mengatakan banyak bermain justru bermanfaat menjadikan anak cerdas, dasarnya begini :
- Bermain mengajarkan norma sosial. Saat bermain, ada aturan. Anak belajar tidak boleh melanggar aturan itu. Melanggar akan kalah.
- Tidak boleh serakah bermain sendiri, harus bergantian pegang bola. Menjadikan anak sabar, berbagi, dan toleran.
- Melatihkan kekuatan fisik, keseimbangan motorik, keselarasan gerak, kelenturan. Tidak clamsy (gerakan canggung tidak seimbang)
- Melatih daya tahan gigih menyelesaikan sesuatu target, misal membuat gol dalam pertandingan futsal.
- Sikap kerjasama, team work dan fairness (adil) — ini skill abad 21 : sumberdaya manusia yang cerdas dan mampu bekerjasama dalam tim.
- Mendapatkan moment-moment keberhasilan, sebuah virus n-achievement. Ketagihan menjadi juara.
- Sikap berani, perwira, tak sedih kalau kalah. Menjadi anak yang bisa mengelola emosi.
- Sikap percaya diri, terbiasa dalam berkompetisi secara sehat dan taat aturan.
- Refreshing. Ini cara menghilangkan kebosanan, memperbaiki mood, menghilangkan stress, tetap positif meski banyak tekanan.
- Kreatif mencari ide-ide menang. Menjadi problem solver.
- Belajar kepemimpinan dan tanggungjawab, pada porsi peran masing-masing.
- Terbiasa belajar meng-apresiasi keberhasilan orang lain, dan menerima kekurangan diri.
- Membangun daya imajinasi yang tinggi, merangsang pertumbuhan fisik, otak, dan perilaku sekaligus.
- Banyak ngobrol dengan teman, bertukar fikiran, diskusi, mengungkapkan perasaan. Menjadi orang yang terbuka, open mind, dan cerdas bahasa.
- Trampil bergaul, melatih kecerdasan interpersonal. Tak sombong, berkarakter kooperatif, kolaboratif. Bisa mengelola teman.
- Membentuk kekhasan karakter, apakah cocok sebagai pemimpin, visioner, eksekutor, managerial, kontroler, logistik, dsb.
- Sebagai sarana terapi bagi anak yang mengalami masalah perkembangan.
- Dan mungkin beberapa lagi ………
PENDAPAT PAKAR TENTANG MANFAAT BERMAIN BAGI ANAK
Penjelasan ilmiahnya telah diberikan oleh beberapa ahli berikut:
1. Smith dan Pellegrini (2008). Bermain merupakan kegiatan yang
dilakukan untuk kepentingan diri sendiri, caranya menyenangkan, tidak diorientasikan pada hasil akhir, fleksibel, aktif, dan positif. Dilakukan demi menyenangkan keinginan diri sendiri. Tidak berpikir tentang hasil karena proses lebih penting daripada tujuan akhir. Fleksibel, tidak kaku, anak dapat membuat kombinasi atau bertindak dalam cara-cara baru.
Kegiatan bermain juga bersifat aktif karena anak benar-benar terlibat dan tidak pura-pura aktif. Selanjutnya, bermain membawa efek positif karena membuat pemainnya tersenyum dan tertawa menikmati. Aktifitas bermain adalah kegiatan yang menyenangkan, bersifat pribadi, berorientasi proses, fleksibel, dan berefek positif, memberi kesenangan, tanpa beban hasil akhir, secara suka rela tanpa paksaan/tekanan dari pihak luar.
2. Herbert Spencer (Catron & Allen, 1999). Anak bermain karena
mereka punya energi berlebih. Energi ini mendorong mereka untuk
melakukan aktivitas sehingga terbebas dari perasaan tertekan. Artinya, tanpa bermain anak akan mengalami masalah serius karena energi mereka tidak tersalurkan.
3. Moritz Lazarus.
Anak perlu penyegaran kembali atau mengembalikan energi yang habis digunakan kegiatan rutin sehari-hari. Maknanya, apabila tidak bermain anak akan lesu.
4. Erikson (1963).
Bermain membantu anak mengembangkan rasa
harga diri. Sebab, jadi mampu menguasai tubuh mereka, menguasai dan memahami benda-benda, serta belajar keterampilan sosial. Anak bermain karena mereka berinteraksi guna belajar mengkreasikan pengetahuan. Bermain merupakan cara dan jalan anak berpikir dan menyelesaikan masalah. Anak bermain karena mereka membutuhkan pengalaman langsung dalam interaksi sosial agar mereka memperoleh dasar kehidupan sosial.
5. Sigmund Freud (Freud, 1958; Isenberg & Jalongo, 1993)
Freud melihat bermain dari kaca mata psikoanalitis – teori bermain psikoanalisis. Menurutnya, bermain bagi anak merupakan suatu mekanisme untuk mengulang kembali peristiwa traumatik yang dialami sebagai upaya memperbaiki/menguasai pengalaman tersebut demi kepuasan anak.
Dengan demikian, Freud melihat bermain sebagai sarana melepaskan kenangan dan perasaan yang menyakitkan. Maknanya, anak bermain karena mereka butuh melepaskan desakan emosi secara tepat.
6. Froebel
Ia terkenal dengan pendekatan dan ide-idenya yang berpusat pada anak yang kita kenal sekarang sebagai bermain bebas. Froebel percaya bahwa anak-anak membutuhkan pengalaman nyata dan aktif secara fisik. Di sini lah terdapat kaitan antara bermain dan belajar. Lagu dan ritme diperkenalkan dan menjadi stimulasi lanjutan.
Froebel juga menunjukkan pentingnya permainan out-door dan alat main natural yang diperoleh dari lingkungan sekitar.
Froebel lalu mendirikan Taman Kanak-kanak yang kemudian banyak berpengaruh terhadap teori-teorinya di kemudian hari. Froebel mendirikan TK karena ada maksud tertentu, bukan dimaksudkan sebagai sekolah untuk anak. Pada tahun 1837, di Keilhau, Froebel membuka sebuah lembaga ”Sekolah Latihan Psikologis bagi Anak-anak melalui Permainan dan Kegiatan”.
(Catatan: Kata “sekolah” kurang disukai Froebel karena tersirat kegiatan yang sistematis dan ketat (Downs, 1978) ).
Froebel ingin agar anak-anak tumbuh lebih leluasa, seperti tanaman bunga. Oleh karena itu, saat Froebel bersama teman-temannya berjalan kaki di lembah penuh bunga, ia berhenti sejenak, dan dengan mata berbinar-binar ia berseru, “Wah, saya menemukannya! Die Kindergarten. Itulah nama yang sesuai! Taman Kanak-Kanak ! (Snider, 1900). Sejak itu, Froebel mempropagandakan gagasan Taman Kanak-kanaknya itu, mulai Dresden dan Leipzig.
Bermain menurut Froebel adalah “cara anak untuk belajar” atau “anak belajar dengan berbuat.” Anak didik bukanlah bejana pasif yang menerima begitu saja apa yang diberikan, melainkan ikut ambil bagian dalam pendidikannya.
Peran itu tampak dalam beberapa hal: (a) bermain, (b) bernyanyi, (c) menggambar, dan (d) memelihara tanaman atau binatang kecil. Dengan demikian, bermain menjadi metode andalan di Taman Kanak-kanak.
7. Lev Vygotsky (1969)
Bermain merupakan sumber perkembangan anak, terutama untuk aspek berpikir. Menurut Vygotsky, anak tidak serta merta menguasai pengetahuan karena faktor kematangan, tetapi lebih karena adanya interaksi aktif dengan lingkungan.
Bermain, dalam perspektif ini, menyediakan ruang bagi anak untuk mengonstruksi pengetahuan melalui interaksi aktif dengan berbagai aspek yang terlibat, seperti peran dan fungsi.
Anak adalah individu aktif, ketika bermain melibatkan diri untuk membangun konsep-konsep yang dibutuhkan, seperti memahami bentuk benda, fungsi, dan karakteristik benda. Anak juga membangun konsep-konsep abstrak, seperti aturan-aturan, nilai-nilai tertentu, dan kultur.
8. Anggani Sudono
Bermain itu penting, sama halnya dengan makan dan minum. Bermain adalah proses belajar. Bermain itu harus dilakukan dengan permainan yang bermakna.
9. Ki Hajar Dewantara
Pemikiran Ki Hajar Dewantara dahulu tetap aktual sampai kini. Beliau melihat proses pendidikan sebagai taman. Indah, bermain, berkreasi, mengembangkan kepribadian nasionalistik.
Paradigma perkembangan kepribadian sangat terutama, barulah perkembangan kognitif sebagai buahnya. TK disebut Taman Indria, SD-SMP-SMA disebut Taman Siswa, Universitas disebut Taman Wiyata.
Mari kita simak sedikit penuturan Ki Hajar Dewantara dalam nukilan artikelnya di majalah Wasita, Jilid 1 No.1 bulan Oktober 1928 :
“… Sedikit contoh bolehlah disebutkan di sini. Permainan anak Jawa seperti: sumbar, gateng, unclang itu mendidik anak agar teliti, cekatan, dan menjernihkan penglihatan. Ada permainan dakon, cublak-cublak suweng, kubuk, itu mendidik anak tentang perhitungan dan pengiraan (pen-kognitif).
Lainnya, permainan gobag sodor, trembung, raton, cu, geritan, obrog, panahan, si, jamuran, jelungan itu bersifat sport, mendidik kuat sehatnya badan, kecekatan, dan keberanian (pen-motorik kasar). Permainan ngronce, menyulam janur, atau membuat tikar itu untuk pendidikan keteraturan dan tabiat tertib (pen-motorik halus). Nyatalah tidak usah kita mengadakan barang tiruan kalau memang kita sudah mempunyainya sendiri …”
PENGALAMAN BERMAIN DALAM PEMBELAJARAN DI KELAS
Nah, bermain menyediakan ruang untuk memanfaatkan imajinasi (seperti dalam bermain “pengandaian”), belajar perspektif (seperti dalam bermain boneka dan bermain peran), memunculkan ide baru (seperti dalam bermain konstruksi), menemukan solusi (seperti dalam bermain maze).
Lainnya, membangun kerja sama (seperti dalam bermain sepak bola, gobak sodor), dan mendapatkan konsep sistem (seperti bermain mobil-mobilan yang dapat dibongkar-pasang).
Hal ini menunjukkan, bahwa bermain mampu menyegarkan, bahkan mengembangkan kognisi melalui kreativitas, berpikir abstrak, memecahkan masalah, menguasai konsep-konsep baru, dan keterampilan sosial.
Sekolah Semut-Semut dengan pendidikan natural-nya terinspirasi antara lain dengan pendapat Froebel dan Lev Vigotsky, serta terutama Ki Hajar Dewantara bapak pendidikan Indonesia, bahwa bermain yang bermakna harus terus dikembangkan dalam pembelajaran.
Di Semut-Semut, sebagai contoh, kegiatan pembelajaran mengandung aspek bermain di dalamnya, seperti tebak-tebakan (quiz) saat membuka pembelajaran, materi disampaikan dengan bermain peran (role-play), bercerita dan presentasi (story telling) ke depan kelas, tantangan (sebutan pengganti tugas pekerjaan rumah), teman-teman (panggilan siswa oleh guru), waktu bermain bebas (free time).
Lainnya, permainan tradisional (misal, petak umpet, egrang, congklak, panjat pinang), pertunjukan kelas (assembly), pagelaran seni sekolah (performa anak negeri), simulasi berjualan (market day), program intra menari, gardening, dan art-kriya (Bengkel Habibie), perjalanan ke tempat-tempat baru yang menantang (outing, camping), membantu adik kelas (senior service), tim misi seni-budaya, kelompok seni (arumba, angklung) serta berbagai perayaan-perayaan hari penting nasional dan internasional.
Pendekatan mengajar dengan teknik bermain harus diperbanyak dalam kurikulum sekolah, karena sangat penting bagi proses tumbuh kembang anak menjadi anak yang cerdas, kreatif, inovatif, berkarakter, terbuka, dan mampu beradaptasi.
Jadi, bermain itu mencerdaskan, kan?